Membaca buku ini, membuka mata saya bahwa betapa beruntungnya saya hidup di
Indonesia. Afrika adalah benua yang serba kekurangan, tanah yang
sebagian besar tandus, musim kering yang panjang, serta penduduk yang
mayoritas memiliki fanatisme kesukuan. Selalu ada kisah sedih dari
Afrika, entah itu yang disebabkan oleh bencana kelaparan, wabah penyakit, ataupun perang antar-etnis.
Namun selalu ada setitik embun di tengah padang pasir. Dalam buku ini, embun itu bernama William Kamkwamba. Seorang bocah Malawi miskin yang tinggal di desa kecil bernama Masitala, dekat kota Kasungu. Kekeringan dan gagal panen chimanga (jagung) di tahun 2002 yang melanda negeri itu, membuatnya terpaksa putus sekolah karena ayahnya tidak punya panen untuk dijual.
Gagal panen juga sama artinya dengan bencana kelaparan. di
tahun itu, konon bencana kelaparan telah membunuh ratusan penduduk
Malawi. UNICEF memperkirakan ada 46 ribu anak Malawi yang kekurangan
gizi. Saat itu William masih 14 tahun.
Sejak kecil, William adalah bocah yang memiliki rasa ingin tahu besar terhadap cara kerja alat apapun yang dilihatnya. Mengapa bahan bakar bisa membuat truk berjalan, dinamo
membuat lampu sepeda menyala, bagaimana orang bisa menyimpan lagu ke
CD, apa yang membuat radio mengeluarkan suara? Ia selalu bertanya pada
ayahnya atau orang-orang yang dianggapnya mengerti. Namun mereka hanya tahu cara menggunakannya dan tidak bisa memberikan jawaban.
Akhirnya William menemukan jawabannya dalam buku-buku di perpustakaan desa. Sejak putus sekolah, dia memang banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan itu. Suatu hari, William menemukan buku bergambar kincir angin, dengan judul 'Using Energy'. Membaca buku itu, dia pun mengerti prinsip energi gerak dan cara kerja kincir angin.
"Angin akan memutar bilah kincir angin, menggerakkan magnet di dalam dinamo (sepeda), lalu menciptakan arus listrik. Jika kita sambungkan sepotong kawat ke dinamo
itu, kita akan mendapatkan tenaga untuk berbagai benda, seperti bola
lampu. Tidak perlu lagi memakai lampu minyak tanah yang asapnya pedih di mata dan menyesakkan nafas. Dengan sebuah kincir angin, aku dapat membaca di malam hari, bukannya tidur pukul 7 seperti orang-orang lain di Malawi."
Pemikiran
sederhana itu akhirnya berkembang ketika William menyadari bahwa
kincir angin itu juga dapat memompa air untuk irigasi. Itu adalah
solusi untuk masalah kekeringan di Malawi.
"Kalau pompa itu dipasang di sumur dangkal dekat rumah kami, kami akan bisa panen dua kali dalam setahun. Jika seluruh penjuru Malawi kekurangan makanan di
bulan Desember dan Januari, kami malah sedang memanen jagung yang
kedua kalinya. Dengan itu, aku tidak akan lagi kekurangan makan dan
tidak akan putus sekolah."
Terbakar oleh motivasi, William pun mempelajari dan mempraktekkan cara
membuat kincir angin. Keterbatasan ekonomi dan peralatan mendorong
William untuk menggunakan bahan-bahan bekas pakai yang diperolehnya
dari sekitar rumahnya, tempat-tempat sampah, maupun Kacholoko, yakni
tempat penimbunan rongsokan mesin, mobil, dan traktor.
Namun, ada saja komponen yang harus dibeli, seperti dinamo sepeda. Untuk membelinya, William bekerja ganyu, yaitu pekerjaan fisik yang dibayar per jam atau per hari. dia juga sangat dibantu oleh sahabat-sahabatnya, Gilbert dan Geoffrey.
Seperti biasa, orang yang berbeda selalu dipandang sebelah mata. Penduduk sekitar memanggilnya 'misala', orang gila. Para pelajar sekolah di belakang Kacholoko menuduhnya sebagai penghisapchamba (mariyuana). Namun, sang Ayah selalu mempercayai dan mendukung anaknya.
Ketika
kincir angin itu berdiri dan benar-benar menghasilkan listrik untuk
rumahnya, orang-orang pun berbalik menghormatinya. William berhasil.
Namun ia tidak cepat puas. Berbagai perbaikan dilakukannya agar kincir angin itu bisa menghasilkan listrik yang lebih besar dan juga lebih aman.
Kerja keras William akhirnya diketahui oleh Dr. Mchazime, yang bekerja di
badan pendidikan MTTA. Beliau mengundang berbagai media massa terkenal
untuk datang ke Masitala. Dr. Mchazime bermaksud menjadikan William
sebagai contoh untuk pemerintah Malawi dan dunia, yaitu contoh anak
berbakat yang mungkin akan tersia-sia karena kemiskinan. Bukan hanya
itu, Dr. Mchazime lah yang mengupayakan agar William dapat meneruskan
sekolah lanjutannya.
Kisah bocah pembuat kincir angin itu tidak berhenti sampai di
situ. Internet telah mengubah dunia seorang William Kamkwamba. Sebuah
artikel Daily Times, koran Malawi berbahasa Inggris, yang memuat kisah
William di halaman depan, telah menarik perhatian Mike McKay, pemimpin NGO Amerika yang bekerja di Malawi. McKay menulis tentang William di blognya, Hacktivate. Blognya dibaca oleh Emeka Okafor, pengusaha dan blogger dari Nigeria. Emeka juga merupakan program director TEDGlobal 2007, konferensi besar yang akan diselenggarakan di Tanzania. dia mengundang William sebagai salah satu pembicara.
Setelah itu, nama William pun semakin dikenal
dunia. Semakin banyak orang yang ingin membantunya dan juga negerinya.
William kemudian mendapat beasiswa untuk bersekolah African Leadership
Academy di Johannesburg, Afrika Selatan. Misi sekolah itu adalah untuk mendidik calon-calon pemimpin Afrika di masa depan. Kini William kuliah di Dartmouth College, Amerika Serikat. Setelah lulus kuliah nanti, William berencana membangun lebih banyak kincir angin di negerinya.
Di tengah berbagai pujian dan harapan yang diberikan kepadanya, mungkin kata-kata inilah yang paling diingat oleh William. Ketika untuk pertama kalinya ia berhasil memasang bola lampu di
ruang tengah rumahnya, William berkata pada ayahnya, "Mister
Kamkwamba, ruangan ini dulunya begitu gelap dan menyedihkan pada
jam-jam seperti ini. Sekarang coba lihat, Anda sedang menikmati listrik
seperti orang kota!"
"Oh," kata Ayah sambil tersenyum. "Aku menikmatinya lebih dari orang kota."
"Karena tidak akan ada pemadaman listrik dan Anda tidak perlu membayar kepada ESCOM (PLN-nya Malawi)?"
"Ya, itu betul," kata Ayah. "Tapi juga karena anakku yang membuat listrik ini."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar